Tuesday, November 1, 2011

Pengembangan Kelompok Tani

Pengembangan Kelompok Tani

Sebagian besar kelompok yang terbentuk sekarang ini kenyataannya merupakan bagian dalam pengembangan masyarakat yang dirancang untuk mengakses proyek. Sehingga sulit dipisahkan apakah kelompok masyarakat itu timbul dari motivasi masyarakat sendiri ataukah terbentuk karena proyek. Kelompok yang dibentuk karena adanya proyek, tidak akan mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, ketika proyek selesai kelompokpun bubar. Demikian pula halnya dengan kelompok-kelompok yang dibentuk oleh masyarakat untuk mendapatkan bantuan, ketika bantuan tak kunjung datang maka aktifitas semakin surut dan akhirnya menghilang. Untuk menyikapi hal ini, maka dikembangkan Pendekatan Pengembangan Kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan dan kebutuhannya. Kerapkali timbul pertanyaan, mengapa menggunakan pendekatan berkelompok untuk suatu program pemberdayaan masyarakat? (http:// www.deliveri.org/guidelines/how/hm_8/hm_8_1i.htm).
Dari sisi lembaga, terbatasnya kesanggupan lembaga untuk mendampingi seluruh masyarakat desa, melalui kelompoklah lembaga mencoba melakukan pendekatan pengembangan masyarakat, dengan harapan hasil-hasil yang positif dapat disebar luaskan ke anggota masyarakat lainnya. (http:// www.deliveri.org/guidelines/how/hm_8/hm_8_1i.htm).
 Kelompok dapat diartikan sebagai suatu wadah masyarakat untuk berkumpul dan bekerjasama dalam mencapai tujuan mereka. Pengembangan Kelompok merupakan serangkaian proses kegiatan memampukan / memberdayakan kumpulan anggota masyarakat yang mempunyai tujuan bersama. Proses Pengembangan Kelompok dimulai dari proses pengenalan akan program, berlanjut pada Kajian Keadaan Pedesaan secara Partisipatif dan diperkuat ketika masyarakat merasa mereka perlu berbagi tugas dan tanggung jawab dalam melakukan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang mereka hadapi. (http:// www.deliveri.org/guidelines/how/hm_8/hm_8_1i.htm).
Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah terbiasa bekerja berkelompok dengan bentuk yang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal yang ada. Paguyuban tari di Jawa Barat, Sekaa semal di Bali dimana masyarakat berkelompok untuk memberantas hama tupai, Mapalus di Minahasa dimana masyarakat bekerja gotong royong di kebun orang, kelompok pengajian dan sebagainya. (http:// www.deliveri.org/guidelines/how/hm_8/hm_8_1i.htm).
Dari sisi masyarakat, dengan berkelompok akan lebih mudah mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, dibandingkan dengan bekerja sendiri. Lagipula, kelompok merupakan wadah belajar bersama dimana masyarakat bisa saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Selain itu, kelompok membangun solidaritas sesama warga desa. Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pendekatan pengembangan kelompok :
  • Keanggotaan tidak terikat oleh jumlah.
  • Perlu memperhatikan keterlibatan kaum perempuan
  • Berpihak pada mereka yang miskin sumberdaya, tidak berpendidikan dan 'kelompok terabaikan' lainnya.
  • Orientasi kegiatan berdasarkan kebutuhan; bukan ditentukan komoditasnya oleh pihak luar
  • Aspek keswadayaan tercermin dalam setiap kegiatan, termasuk pembiayaan
  • Kelompok sebagai pelaku utama pengambilan keputusan
  • Demokratis, terbuka / transparan
  • Berwawasan lingkungan dan budaya
  • Mengoptimalkan sumberdaya lokal
  • Peran masyarakat semakin meningkat, peran pendamping semakin berkurang (http:// www.deliveri.org/guidelines/how/hm_8/hm_8_1i.htm)
read more...

Kelembagaan Peternakan

Kelembagaan Peternakan

Kelembagaan yang sangat perlu untuk mendukung pembangunan peternakan sebagai penentu kebijakan dan penataan pelaksanaannya yang berdaya guna dan berhasil guna diperlukan, anatara lain :
a.       Kelembagaan Pemerintah
Kelembagaan pemerintah yang berfungsi sebagai Pembina, pengawas, peneliti dan pelaksana pendidikan, pelatihan serta penyuluhan, yang perlu tersedia pada tingkat propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.
b.      Kelembagaan Peternak/Kelompok Peternak
Pada umumnya kelompok peternak belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternak sehingga belum berfungsi optimal sebagai : wadah belajar mengajar, unit produksi, wahana kerjasama antar anggota dan antar kelompok serta dengan pengusaha yang bergerak dibidang peternakan. Kelompok peternak belum melembaga dengan koperasi/unit usaha, sehingga belum dapat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan upaya mendapatkan modal untuk meningkatkan skala usahanya. Oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan kontak peternak andalan yang lebih intensip sampai menjadi kelompok peternak mandiri.
Menurutnya selain pasar ternaknya yang harus jelas, kelembagaan pengembangan integrasi usaha tani dan ternak juga perlu diadakan. Baik kelembagaan yang memayungi usaha integrasi tersebut, maupun kelembagaan di petaninya. Untuk kelembagaan yang memayungi integrasi bisa dikembangkan pola kerjasama antara pemerintah daerah, perusahaan swasta dan petani. “ Ternaknya bisa dari swasta atau pemerintah yang diberikan kepada petani sebagai kredit.
            Pemerintah daerah bisa berperan sebagai koordinator, “fasilitator” (pelayan), “regulator” (pengatur), “dinamisator” (penggerak) dan pengendali dimasing-masing wilayah kerja administratif (Propinsi, Kabupaten dan Kota) sesuai dengan kewenangannya.
            Sedangkan perusahaan swasta bisa berperan sebagai : penyedia lahan pertanian sebagai basis ekologi sumber pakan dan lingkungan hidup ternak (lingkungan budidaya), sumber utama penghasil bahan pakan alternatif yang selama ini relatif belum banyak dimanfaatkan, dan sebagai inti dalam kerjasama kemitraan usaha dengan petani/ peternak dengan tugas menyediakan agroinput (sarana dan prasarana, dan pemasaran).
            Selain itu, perusahaan swasta juga bisa berperan sebagai pelaku usaha peternakan misalnya dengan membuka devisi usaha peternakan, sebagai Avalis (penjamin) petani/ kelompok tani ternak dalam pengajuan Kredit Modal Usaha Peternakan kepada lembaga keuangan yang menyediakan kredit.
Sedangkan petani/peternak atau kelompok tani ternak berperan sebagai pelaku usaha peternakannya. “para petani/peternak atau kelompok tani ternak ini mungkin belum berkoperasi, sehingga pengelolaan usaha ternaknya bisa lebih efesien dan ekonomis. (http:www.pustaka.deptan.go.id/inovasi/k.1060612 pdf.)

c.       Kelembagaan Pasar

Dalam hal ini peran pemerintah penting untuk menciptakan kelembagaan pasar, agar peternak tidak tertekan oleh bentuk pasar yang sifatnya monopoli dan monopsoni terutama yang dilakukan oleh para tengkulak atau blantik.
Kelembagaan pasar yang diperlukan antara lain sarana pemasaran (pasar hewan) yang memadai dan mudah dijangkau serta tersedianya system informasi pasar.
d.      Kelembagaan Penyuluhan dan Penelitian Peternakan
 Berkembangnya teknologi secara pesat mulai proses produksi, panen, pasca panen (kualitas produk) sampai pemasaran memerlukan sinergi kelembagaan penyuluhan dan penelitian peternakan. Kemitraan/ kerjasama antara peternak dengan kelembagaan penyuluhan dan penelitian perlu ditingkatkan.
(bp2tp.litbang.deptan.go.id/file/wp 04_01 analisis kelembagaan.pdf.)
read more...

Pajak dan Retribusi SubSektor Peternakan

Pajak dan Retribusi SubSektor Peternakan
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari Negara.
 Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (Kontra prestasi/balas jasa) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ditinjau dari lembaga pemungutannya, pajak dibedakan menjadi dua, yaitu pajak pusat (disebut juga pajak Negara) dan pajak daerah, (Siahaan 2005 : 7).
Peran strategis pajak dan retribusi daerah memang telah memberikan kontribusi signifikan dalam sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi, perannya belum cukup kuat dalam menyokong APBD secara keseluruhan. Pajak dan retribusi daerah adalah pos dominan dalam PPendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD sangatlah kecil. Ini membuktikan bahwa kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya sulit dilakukan. Dengan kata lain transfer dana dari pusat (DAU, bagi hasil pajak, dan dana lain dalam pelaksanaan dekonsentrasi dan pembantuan) masih menjadi penerimaan dominan dalam pembiayaan daerah. Tidak signifikannya peran pajak daerah dalam APBD karena sistem tax assignment di Indonesia yang masih banyaknya pajak potensial yang dikuasai Pemerintah Pusat. Beberapa pajak potensial tersebut adalah pajak pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk (Munawar, Islamil, 2002 : 3).
 Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,45% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah). Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.  Kontribusi pajak dan retribusi daerah yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga terjadi di hampir semua kota dan kabupaten. Pos-pos penerimaan yang lain seperti laba BUMD dan pos penerimaan lain yang syah sumbangannya tidak lebih dari 40%. Bahkan di kabupaten/kota tertentu kontibusi pajak dan retribusi daerah hampir mencapai 90%. Terdapat alasan kuat memang, bahwa pajak dan retribusi yang signifikan merupakan jaminan kelangsungan pembiayaan pembangunan karena sumber tersebut relative aman dan stabil sepanjang tahun.
Namun demikian kebijakan pemerintah pusat yang distortif dalam tax system justru menjadikan ironi terhadap kebijakan ini. Distorsi sistem tersebut terdapat dalam 2 kebijakan yaitu sistem pola bagi hasil pajak yang memberikan porsi kecil kepada daerah dan penguasaan sumber-sumber pajak potensial oleh pusat Porsi kecil nampak dari prosentase bagi hasil pajak untuk daerah yang rasionya tidak lebih dari 50%, sedangkan penguasaan obyek pajak potensial oleh pusat misalnya dalam pajak penghasilan dan PBB. Kebijakan tersebut berdampak sulitnya bagi daerah untuk mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Sehingga tidak heran jika pemerintah daerah beramai-ramai menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kebijakan ektensifikasi obyek dan tarif pajak daerah, yang seringkali justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan daerah, (Munawar, Islamil, 2002 : 4).
read more...

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sejak berlakunya otonomi daerah, daerah dipacu untuk dapat berkreasi dalam mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Salah satu alternative sumber penerimaan tersebut adalah pajak dan retribusi daerah yang telah ditetapkan pada Undang-undang tentang pemerintahan daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari daerah itu sendiri (Abidin, 2002).
Menurut Undang-Undang No 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan PAD adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.  PAD dapat bersumber dari:
1.  Pajak Daerah; yaitu pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum  publik. Ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:
a). Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah
b.) Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang
c). Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum lainnya
d). Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.
2. Retribusi Daerah ; yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah. Ciri-ciri pokok retribusi daerah adalah sebagai berikut:
a.   Retribusi dipungut oleh daerah
b.   Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk
c.   Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah.
3.  Perusahaan Daerah; Dalam hal ini, laba perusahaan daerahlah yang diharapkan sebagai sumber pemasukan bagi daerah. Oleh sebab itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat profesional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi. Dalam penjelasan umum UU No. 5/1974, pengertian perusahaan daerah dirumuskan sebagai “suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk memperkembangkan perekonomian
daerah dan untuk menambah penghasilan daerah”. Dari kutipan diatas tergambar dua fungsi pokok, yakni sebagai dinamisator perekonomian daerah yang berarti harus mampu memberikan rangsangan/stimulus bagi berkembangnya perekonomian daerah dan sebagai penghasil pendapatan daerah. Ini berarti perusahaan daerah harus mampu memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat disetorkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit (keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum. Atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah. menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjamin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang memungkinkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan yang saling bertolak belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagai badan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan.
4.   Lain-lain PAD yang Sah. Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Lain-lain PAD yang sah antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.33 Tahun 2004, meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b. jasa giro
c. pendapatan bunga
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
e. komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
read more...

Sub Sektor Peternakan

Sub Sektor Peternakan
Disadari atau tidak, sub sektor peternakan memiliki peranan yang strategis dalam kehidupan perekonomian dan pembangunan sumberdaya manusia Indonesia.  Peranan ini dapat dilihat dari fungsi produk peternakan sebagai penyedia protein hewani yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia.  Oleh karenanya tidak mengherankan bila produk-produk peternakan disebut sebagai bahan ”pembangun” dalam kehidupan ini. Selain itu, secara hipotetis, peningkatan kesejahteraan masyarakat akan diikuti dengan peningkatan konsumsi produk-produk peternakan, yang dengan demikian maka turut menggerakan perekonomian pada sub sektor peternakan.  Dan, pada kenyataannya konsumsi produk peternakan (terutama daging) di Indonesia cenderung meningkat.  Konsumsi daging tahun 2000 hingga 2004 masing-masing berturut-turut adalah 1,25, 1,2, 1,29, 1,37 dan 1,36 juta ekor (Deptan, 2005).  Hal ini selaras juga dengan hasil pandangan Delgado et al. (1999) bahwa di negara-negara berkembangan terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi produk peternakan.

Pembangunan peternakan pada dasarnya urgen untuk dilakukan karena sub sektor ini memiliki peranan yang strategis bagi bangsa Indonesia. Peranan strategis ini setidaknya dapat dilihat pada 4 (empat) hal.  Pertama, sub sektor ini diharapkan memperbaiki/meningkatkan konsumsi dan distribusi gizi (baca: protein) hewani. Kedua, untuk meningkatkan pendapatan petani/peternak yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani dan masyarakat.  Ketiga, sebagai efek pengganda (multiplier effect) dari peningkatan nilai dan volume serta nilai tambah, yaitu dalam bentuk kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun pajak untuk negara. Dan yang keempat, bahwa menurut Delgado et. al. (1999) dewasa ini secara global sedang terjadi peningkatan konsumsi produk-produk peternakan yang justru terjadi di negara-negara sedang berkembang dimana peningkatan ini tidak diimbangi dengan produksi yang memadai sehingga impor merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan tersebut.

Seiring dengan adanya otonomi daerah maka pembangunan di masing-masing daerah harus didasarkan pada kondisi riil dan spesifik daerahnya masing-masing.  Berdasarkan pada Ditjennak (2002) tentang kawasan peternakan yaitu kawasan yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan peternakan atau secara terpadu sebagai komponen usahatani lainnya (misalnya yang berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) dan atau secara terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu (seperti hutan lindung dan suaka alam).
read more...